BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroteknik secara umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari metode pembuatan preparat mikroskopis, baik preparat hewan maupun tumbuhan, menganalisis preparat mikroskopis dan melakukan mikrometri, serta membahas manfaat preparat bagi perkembangan keilmuan dan dukungan terhadap kehidupan manusia. Sedangkan mikroteknik tumbuhan merupakan teknik dalam pembuatan preparat mikroskopis tumbuhan. Beberapa metode yang dikenal dalam pembuatan preparat tumbuhan, yaitu metode parafin, metode squash, metode asetolisis, metode maserasi dan metode whole mount. Laporan ini melaporkan beberapa hasil pembuatan preparat dengan metode-metode tersebut, kecuali metode whole mount.
Berdasarkan sifat ketahanannya, preparat dapat dibedakan menjadi preparat sementara (preparat basah), preparat semipermanen (1/2 awetan) dan preparat permanen (awetan). Preparat sementara bersifat tidak tahan lama dan biasanya hanya untuk sekali pengamatan. Preparat ini menggunakan medium air atau bahan kimia yang mudah menguap. Preparat semipermanen menggunakan media gliserin dan mampu bertahan untuk sekitar seminggu penyimpanan. Preparat permanen atau preparat awetan merupakan preparat yang diawetkan menggunakan balsam, gliserin jelly, lactophenol atau senyawa lain sebagai agen mountingnya. Sehingga preparat permanen dapat bertahan beberapa lama.
1.2 Tujuan Umum
1. Latihan membuat preparat baik preparat dengan atau tanpa embedding (preparat kromosom, preparat polen, metode parafin dan preparat maserasi).
2. Latihan mengukur sel dengan micrometer.
3. Latihan mendokumentasikan hasil dengan perangkat fotomikrografi.
BAB II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
2.1 Metode Parafin
Metode paraffin merupakan metode pembuatan preparat awetan yang banyak digunakan karena memiliki beberapa keuntungan yaitu proses embedding lebih cepat dan lebih simpel, material embedding dapat disimpan dalam waktu yang lama pada kondisi kering, serta dapat membuat irisan yang tipis. Embedding menggunakan paraffin sangat baik digunakan untuk studi embriologi, anatomi dan sitologi (Khasim, 2002).
Parafin sebagai medium embedding merupakan media yang memudahkan untuk merubah dari bentuk cair ke bentuk padat. Media embedding dibedakan menjadi dua berdasarkan fungsinya, yaitu berfungsi untuk penetrasi sel-sel dan berfungsi untuk merusak saja.
A. Tujuan
Mempelajari tata cara pembuatan preparat engan menggunakan metoda parafin.
B. Alat dan Bahan
Alat
n Tabung vial
n Gelas ukur
n Mikroskop cahaya
n Gelas beaker
n Karton tempat pita parafin
n Paper tray
n Kaca penutup
n Lampu spiritus
Bahan
n Anthera Liliaceae, daun jeruk (Citrus sp.), daun Karet (Ficus elastica) dan daun Beringin (Ficus benjamina)
n Larutan fiksatif FAA 70 %
n Alcohol 20, 40, 60, 70, 80, 96,100 %
n Campuran alkohol : xilol dengan perbandingan 3:1, 1:1, 1:3
n Xilol
n Parafin 580C
n Safranin
n Entelan dan Mayer’s adhesive (campuran gliserin albumin 1:1)
C. Cara Kerja
1. Fiksasi FAA selama 24 jam
2. Pencucian dan dehidrasi
Fiksatif dibuang dan diganti dengan :
o Alcohol 70 % selama ½ jam
o Alcohol 80 % selama ½ jam
o Alcohol 95 % selama ½ jam
o Alcohol 100 % I selama ½ jam
o Alcohol 100 % II selama ½ jam
3. Dealkoholisasi
Alcohol dibuang diganti dengan :
o Campuran alcohol : xilol dengan perbandingan 3: 1 selama ½ jam
o Campuran alcohol : xilol dengan perbandingan 1: 1 selama ½ jam
o Campuran alcohol : xilol dengan perbandingan 1: 3 selama ½ jam
o Xilol I selama ½ jam
o Xilol II selama ½ jam
o Campuran xilol : paraffin 1:9 dengan temperature 580C selama 24 jam
4. Infiltrasi
Campuran xilol / paraffin dibuang dan diganti dengan paraffin murni. Temperature tetap 580C selama 24 jam.
5. Penanaman / embedding
Parafin dibuang diganti dengan parafin yang baru. Setelah satu jam dibuat blok.
6. Pengirisan
Dibuat irisan dengan mikrotom dengan ketebalan tertentu.
7. Perekatan
Irisan dilekatkan pada gelas benda dengan campuran gliserin /albumin yang dibubuhi air. Kemudian gelas benda ditaruh dalam papan pemanas dengan temperatur 450C sampai pita parafin membentang.
8. Pewarnaan
Pewarnaan tunggal dengan safranin 1 % dalam air. Berturut-turut gelas benda ditaruh dalam papan pemanas dengan temperature 450C sampai pita parafin membentang.
o Xilol 1
o Campuran alcohol/xilol 1 : 3 3 menit
o Campuran alcohol/xilol 1 : 1 3 menit
o Campuran alcohol/xilol 3 : 1 3 menit
o Alcohol absolute I 3 menit
o Alcohol absolute II 3 menit
o Alcohol 95 % 3 menit
o Alcohol 80 % 3 menit
o Alcohol 60 % 3 menit
o Alcohol 40 % 3 menit
o Alcohol 20 % 3 menit
o Aquades 3 menit
o Safranin 1 % dalam air 2 jam
o Alcohol 20 % 3 menit
o Alcohol 40 % 3 menit
o Alcohol 60 % 3 menit
o Alcohol 80 % 3 menit
o Alcohol 95 % 3 menit
o Alcohol absolute II 3 menit
o Alcohol absolute I 3 menit
o Campuran alcohol/xilol 3 : 1 3 menit
o Campuran alcohol/xilol 1 : 1 3 menit
o Campuran alcohol/xilol 1 : 3 3 menit
o Xilol I 3 menit
o Xilol II 3 menit
9. Penutupan
Irisan ditutup dengan kaca pentup dengan diberi entelan terlebih dahulu. Preparat dikeringkan di atas papan pemanas dengan temperature 450C.
10. Pelabelan
Disebelah kanan gelas penutup diletakkan label dengan diberi keterangan : nama spesies, organ dan penampang.
D. Hasil dan Pembahasan
Gambar 1. Penampang Melintang (P.L.) daun Ficus benjamina, Citrus Sp.
dan Ficus elastica dengan metode parafin
Hasil pengamatan terhadap preparat penampang melintang daun Citrus sp dengan mikroskop cahaya cukup terlihat adanya saluran kelenjar sekresi yang terletak pada korteks dan epidermis atas. Pada daun Ficus benjamina terlihat keberadaan sel litokist dengan sistolit didalamnya. Sedangkan untuk Ficus elastica tidak dapat dengan jelas teramati, begitu pula antera liliaceae.
Dari hasil praktikum yang didapat, penampakan preparat secara umum kurang memuaskan, seperti hilangnya epidesmis bawah pada citrus Sp, rusaknya preparat antera liliaceae dan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kesalahan dalam prosedur kerja seperti pada pewarnaan, Safranin yang digunakan terlalu pekat. Lem Mayer’s Adhesive (sisa-sisa albumin yang tidak rata dan terlalu banyak) mengotori objek glass. Dan kesalahan saat pemanasan (di atas slide drying plate), terlalu panas atau terlalu lama sehingga pita parafin meleleh dan jaringan di dalamnya mengalami kerusakan. Selain itu, terjadi pula kesilapan pada nahan mounting yang digunakan (entelan tercampur dengan minyak emersi) sehingga preparat tidak dapat kering dan merekat dengan kuat.
2.2 Preparat Kromosom
Pembuatan sediaan untuk pengamatan kromosom dilakukan menggunakan metode squash atau tekan usap. Menurut Jahier et al., 1996 dalam Perwati (2009), preparat yang dibuat dengan metode squash termasuk preparat semi permanen. Bahan tanaman yang biasa digunakan adalah bagian meristematik tanaman yang masih aktif membelah dan diwarnai dengan acetocarmin. Aplikasi metode pembuatan preparat ini sering digunakan untuk penelitian di bidang genetika dan taksonomi, yakni untuk tujuan pengamatan kromosom suatu tumbuhan.
A. Tujuan
Mempelajari tata cara pembuatan preparat kromosom dengan metode tekan usap acetocarmin.
B. Alat dan Bahan
Alat
- Tabung vial
- Mikroskop Cahaya
- Kaca Penutup
- Kaca Objek
- Pipet Tetes
- Lampu Spiritus
- Skapel
- Batang pengaduk
Bahan
- Ujung akar bawang merah (Alium sativum) dan bawang bombay (Allium cepa)
- Larutan Fiksatif Mc Clintoch’s (Alkohol 100 % : Asam asetat glasial = 3 : 1)
- HCL pekat
- Aquades
- Acetocarmin
- Asam asetat glasial
§ Alkohol absolut
C. Cara Kerja
1. Ujung akar bawang merah (Alium sativum) dan bawang bombay (Allium cepa) yang ditumbuhkan dalam botol dipotong sepanjang 1 cm pada jam yang telah ditentukan.
2. Ujung akar tersebut dimasukkan ke dalam vial yang berisi larutan fiksatif Mc Clintoch’s (Alkohol 100 % : Asam asetat glasial = 3 : 1), difiksasi selama 24 Jam.
3. Dipindahkan ke dalam campuran alkohol 100 % dan HCL pekat (1 : 1) selama 10 menit.
4. Setelah itu, potongan ujung meristem diletakkan di atas objek glass dan ditetesi dengan Acetocarmin.
5. Dicacah dengan dengan pisau cutter dan ditutup dengan cover glass.
6. Ditekan dengan ibu jari dan diketuk-ketuk sedikit agar penyebarannya bagus.
7. Objek glass dilewatkan di atas lampu spritus secara perlahan-lahan.
8. Selanjutnya kromosom siap diamati di bawah mikroskop.
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil preparat kurang maksimal, karena kromosom tidak terwarnai dengan baik sehingga sulit untuk diamati. Diduga penggunaan acetocarmin yang masa pembuatannya sudah cukup lama merupakan faktor penyebab kurang maksimalnya preparat yang dihasilkan.
Untuk mengamati tahap-tahap pembelahan pada kromosom bawang, perlu dilakukan pemotongan akar pada waktu-waktu tertentu, disesuaikan antara fase pembelahan yang ingin diamati dan waktu fase pembelahan tersebut berlangsung. Waktu pemotongan akar bawang adalah faktor kritis karena waktu berlangsungnya pembelahan nucleus setiap harinya tidak tetap. Pagi hari merupakan waktu yang paling baik untuk pemotongan akar bawang. Namun demikian, spesifikasi waktu ini terlalu samar (Jureak,1985). Menurut Margono (1973), waktu pemotongan akar bawang yang tepat yaitu pada pukul 24.00 wib. Hal ini dikarenakan pada ujung akar bawang banyak sel yang mengalami aktifitas pembelahan dengan rentangan 5 menit sebelum dan sesudah pukul 24 malam sehingga diharapkan tahap-tahap pembelahan sel dapat diamati. Dalam praktikum ini pemotongan akar bawang dilakukan pada pukul 23.30 wib dan 13.00 wib.
Setelah dipotong bagian ujung akar bawang tersebut direndam dalam larutan fiksatif (Alkohol 100 % : Asam asetat glasial = 3 : 1), selama 24 Jam. Perendaman dalam fiksatif berfungsi untuk menghentikan aktivitas mitotik dan mempertahankan kondisi sel-sel akar bawang merah seperti sebelumnya.
Selanjutnya larutan fiksatif dibuang dan dilakukan perendaman dalam campuran alkohol absolut 100% + HCl pekat (1:1) selama 10 menit. Alkohol bertujuan untuk membersihkan sisa fiksatif yang kemungkinan masih menempel pada potongan akar. Sementara itu, HCl berfungsi memperjelas batas antara daerah tudung akar dengan bagian yang lain karena dengan pemberian larutan ini daerah tudung akar akan terlihat lebih putih daripada bagian lainnya.
Ketika potongan ujung meristem akar diletakkan pada objek glass, dilanjutkan dengan pemberian acetocarmin dan pencacahan ujung akar menggunakan cutter. Pemberian acetocarmin dan pencacahan bertujuan untuk mempermudah penetrasi zat pewarna ke dalam sel dan mewarnai kromosom, sehingga akan mempermudah pengamatan. Menurut aprilisa (2010), pencacahan sebaiknya menggunakan silet berkarat, karena karat mengandung Fe yang teroksidasi yang dapat membantu pengikatan warna oleh kromosom.
Setelah ujung akar dicacah hingga cukup hancur, ditutup menggunakan cover glass dan ditekan dengan ibu jari. Penekanan dengan ibu jari bertujuan untuk memecah dinding dan nucleus sel. Begitu pula preparat diketuk-ketuk perlahan dengan tujuan kromosom yang keluar dari sel dapat tersebar baik.
Tahap terakhir adalah pemanasan di atas Bunsen. pemanasan dilakukan bertujuan untuk mempercepat proses penyerapan warna dari acetocarmin.
2.3 Maserasi Kayu
Maserasi yaitu pemisahan serat-serat dari kayu tumbuhan. Metode maserasi merupakan metode yang banyak digunakan untuk membuat preparat maserasi kayu untuk pengamatan komponen serat kayu tersebut. Bahan yang digunakan adalah potongan kayu dari batang tumbuhan. Dalam praktikum ini terdiri dari beberapa jenis kayu, yaitu kayu Melinjo (Gnetum gnemon), kayu Pinus (Pinus merkusii), kayu Akasia (Acacia mangium), kayu Sengon (Albazia falcataria), kayu Jambu (Myrtaceae) dan kayu Hibiscus rosa-sinensis.
Kayu merupakan bahan/material biologis yang dikenal dengan xylem sekunder. Kayu dihasilkan dari kambium vaskuler dan berkembang di batang dan akar sebagai akibat adanya pertumbuhan sekunder (Iswanto, 2008). Komponen umum kayu/xylem sekunder terdiri atas trakea, trakeid, serat (serat trakeid, serat libriform) dan sel parenkim (Hidayat, 1995).
A. Tujuan
Tujuan praktikum ini untuk mempelajari tata cara pembuatan maserasi kayu.
B. Alat dan Bahan
Alat
· Tabung vial
· Kaca objek
· Kaca penutup
· Lampu spiritus
· Jarum preparat
· Oven
Bahan
- Kayu Sengon, Kayu Pinus, Kayu Akasia, Kayu Sungkai
- KOH 20%
- Asam Nitrat 10 %
- Asam kromat 10 %
- Alkohol 30-100 %
- Xilol
· Aquades
· Entelan
C. Cara Kerja
1. Kayu dipotong dengan ukuran ± 5 mm. sebesar anak korek api dan ujungnya setengah dari pada anak korek api.
2. Rendam dengan 10% KOH dalam vial selama 25 menit lalu direndam kedalam campuran 10% asam kromat + 10% asam nitrat (1:1) selama 2 jam pada suhu 600C dalam oven.
3. Setelah kayu menjadi lunak dicuci dengan air mengalir selama 20 menit.
4. Pewarnaan dengan safranin 1% dalam air selama 24 jam.
5. Selanjutnya didehidrasi dengan alcohol 30, 50, 70, 95 dan 100%, sambil di sentrifuse.
6. Dealkoholisasi dengan xilol.
7. Mounting dengan entelan.
D. Hasil dan Pembahasan
A. Trakea, trakeid dan serat Sengon (Albazia falcataria) 40x
B. Trakea dan serat Acacia mangium 40x
C. Trakea, trakeid dan serat Hibiscus rosa-sinensis 40x
D. Trakea dan serat Jambu - Myrtaceae 100x
E. Serat Pinus merkusii 100x
F. Trakeid Gnetum gnemon 100x
Gambar 2. Maserasi kayu Sengon (Albazia falcataria), kayu Akasia (Acacia mangium), kayu Hibiscus rosa-sinensis, kayu Jambu (Myrtaceae), kayu Pinus (Pinus merkusii) dan kayu Melinjo (Gnetum gnemon).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap preparat maserasi terlihat bahwa masing-masing sel penyusun kayu memiliki bentuk berbeda-beda.Komponennya yang teramati dapat dibedakan menjadi sel trakea, trakeid dan serat. Karakteristik komponen kayu menurut Hidayat (1995) dijabarkan sebagai berikut. Trakea merupakan sel panjang dengan lubang perforasi di kedua ujungnya. Trakeid memiliki sel dengan bentuk memanjang tanpa perforasi tetapi memiliki beberapa bagian dinding sel yang tidak menebal (noktah) berfungsi untuk pengangkutan air. Sedangkan komponen serat dalam xylem merupakan sel panjang dengan dinding berlignin dan tebal dinding biasanya lebih tebal daripada trakeid. Ada dua macam serat, yakni serat trakeid dan serat libriform.
Dalam prosedur kerja pembuatan preparat, langkah awal setelah kayu dipotong adalah perendaman kayu dengan KOH 10 % selama 25 menit. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan udara yang terdapat di dalam sel/jaringan, agar pada tahap selanjutnya kayu dapat tenggelam.
Campuran asam kromat 10% dan asam nitrat 10% digunakan untuk melunakkan kayu. Perendaman kayu dalam asam kromat dan asam nitrat pada suhu 600C dimaksudkan untuk mempercepat hidrolisa dan pelarutan lamela tengah agar sel-sel penyusun kayu dapat terurai dan dipisah-dipisahkan. Sel-sel penyusun kayu tersebut diwarnai dengan safranin 1% dalam air agar lebih mudah diamati.
Pemisahan kayu Sengon, Hibiscus, Akasia dan Jambu menunjukkan adanya komponen yang berbeda dengan kayu melinjo dan pinus. Melinjo dan Pinus adalah kayu-kayu dari golongan Gymnospermae termasuk kayu lunak (softwoods) yang sel-sel penyusunnya didominasi oleh trakeid (90-94 %) dan sebagian kecil sel parenkim (Iswanto, 2008). Sedangkan Sengon, Hibiscus, Akasia dan Jambu adalah tumbuhan angeospermae dan termasuk golongan kayu-kayu keras (hardwoods). Sel-sel penyusun kayunya lebih bervariasi. Dari hasil pengamatan, sel-sel penyusun kayu cukup dapat dibedakan, meskipun pewarnaan pada beberapa preparat sangat tipis hingga ada beberapa sel yang tidak terwarnai.
Setelah komponen kayu terurai dan sudah terlihat seperti bubur, dilanjutkan dengan tahap dehidrasi dan dealkoholisasi, sampai penempelan (mounting). Dehidrasi dan dealkoholisasi bertujuan untuk menghilangkan air dan menghilangkan sisa-sisa alkohol. Sementara penempelan (mounting) dilakukan menggunakan entelan agar sel-sel dapat terpisah dengan baik dan merekat pada objek glass serta bertahan dalam jangka waktu yang lama.
2.4 Preparat Polen
Polen atau serbuk sari adalah butiran kecil yang merupakan sel khusus memiliki dua nucleus, dibentuk oleh organ kelamin jantan bunga atau stamen (Stockley, 2005). Begitu juga dengan spora merupakan alan bantu reproduksi pada tumbuhan criptogamae, misalnya paku. Serbuk sari dan spora banyak megandung zat gula, lemak, protein dan karbohidrat. Serbuk sari dan spora pada berbagai jenis tumbuhan memiliki bentuk yang berbeda, terkadang ia berbentuk seperti piramid, segi tiga, bulat atau seperti telur tergantung pada jenis pohonnya.
Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu Eksin (lapisan luar) tersusun atas sporopolenin, dan In tin (lapisan dalam) yang tersusun atas selulosa. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian eksin, merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur halus eksin dapat dibedakan menjadi tiga tire, yaitu: tektat, semitektat, dan intektat.
Metode asetolisis adalah metode yang digunakan dalam pembuatan preparat polen dan spora. Prinsip dasar asetolisis, adalah memecah atau melisis dinding polen (eksin dan intin) dan spora dengan menggunakan asam kuat.
A. Tujuan
Tujuan praktikum ini untuk mempelajari tata cara pembuatan preparat pollen dengan metode asetolisis.
B. Alat dan Bahan
ALAT
· tabung vial
· kaca penutup
· lampu spiritus
· pipet tetes
· pipet volume
· karet penghisap
· kaca obyek
· gelas beaker
· sentrifuse
· batang gelas
BAHAN
· Polen Bakung (Crinum asiaticum), Hibiscus rosa-sinenseis, Eceng gondok (Eichornia crassipes), Jambu Air (Eugenia sp.) dan Graminae serta spora paku Sisik naga (Drymoglossum sp.)
· asam asetat glacial
· asam sulfat pekat
· gliserin jelly
· potongan paraffin
· HCl
· safranin 1% dalam air
C. Cara Kerja
1. Disediakan antera tanaman, Antera di ketuk-ketukkan dan polennya ditampung pada satu kertas putih.
2. Pollen dimasukkan dalam botol vial, difiksasi dengan AAG (asam asetat glasial) 24 jam
3. Pollen dipindahkan dalam tabung sentrifuse dan disentrifugasi agar pollen mengendap, Setelah mengendap AAG dibuang, diganti dengan campuran AAG : asam sulfat pekat (9:1).
4. Tabung yang berisi pollen tersebut dipanaskan dalam waterbath hingga mendidih. Setelah mendidih, pemanasan dihentikan dan tabung didiamkan 15 menit.
5. Tabung disentrifuse kembali dan cairannya diganti dengan aquadest 2-3x den setiap selang satu kali selalu disentrifuse.
6. Aquadest dibuang dan dimasukkan 2 sendok gliserin jelly yang sudah dipanaskan dan dicampur safranin 1 % kedalam tabung pollen .
7. Dengan menggunakan ujung batang pengaduk, polen diletakkan pada glass objek dan ditutup dengan cover glass.
8. Sudut-sudutnya diberi paraffin agar cover glass lengket pada saat dilewatkan diatas bunsen.
9. Preparat sudah dapat diamati dibawah mikroskop serta diberi label.
D. Hasil dan Pembahasan
Gambar 3. Tipe-tipe polen dari Hibiscus rosa-sinensis, spora Drymoglossum sp., Polen Eugenia sp., Echornia crassipes, dan Graminae dengan perbesaran 100x dan Crinum asiaticum 40x
Dalam praktikum ini dipelajari pembuatan preparat polen dari beberapa tumbuhan angeospermae sebagaimana disebutkan di atas dan spora dari paku epifit, yaitu paku sisik naga (Drymoglossum sp.). Hasil pengamatan menunjukkan bentuk dan ukuran polen yang bervariasi antar jenis-jenis tumbuhan. Selain ukuran dan bentuk polen, ciri lainnya seperti tipe, jumlah dan posisi apertur serta arsitektur dinding eksin juga dapat diamati dan dijadikan parameter dalam studi palinologi. Ciri morfologi polen tersebut bermanfaat dalam berbagai bidang, manfaatnya antara lain :
a. Melacak sejarah kelompok dan jenis (spesies) tumbuhan
b. Melacak sejarah komunitas tumbuhan dan habitatnya
c. Menentukan umur relatif batuan atau sedimen
d. Memperlajari sejarah iklim
e. Mempelajari pengaruh manusia terhadap lingkungan
f. Mempelajari kandungan serbuk sari di udara dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia
g. Menentukan kandungan serbuk sari dalam madu (melisopalinologi)
h. Membantu memecahkan kasus kriminologi
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa polen pada Gramine berbentuk bulat sedikit takteratur, dengan ukuran kurang dari 50 μm. Polen Hibiscus rosasinensis pollen berbantuk bulat dan dilengkapi spina atau duri-duri disekelilingnya. Bentuk Polen jambu air (Eugenia sp.) terlihat agak lonjong dan berukuran lebih besar dibanding polen Crinum asiaticum dan Eichornia crassipes. Sementara untuk spora paku Drymoglossum sp. Terlihat berbentuk bulat dengan spina pendek di sekelilingnya hampir menyerupai polen hibiscus tetapi berukuran lebih kecil dan terlihat jelas masih adanya sporangium.
Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa polen Hibiscus rosasinensis, Crinum asiaticum, Eichornia crassipes, dan graminae merupakan polen tunggal. Sementara polen pada Jambu air terlihat berupa kumpulan beberapa polen. Hal ini diperkuat oleh Knox (1985) dalam Aprianty dan Kriswiyanti (2008), yang menyatakan bahwa sebagian besar polen Angiospermae merupakan polen yang soliter dan bebas, masing-masing berkembang dari mikrospora tunggal.
Bentuk, ukuran ataupun tipe polen tidak hanya bervariasi dalam tingkatan antar jenis, melainkan dapat pula bervariasi antara individu-individu dalam jenis yang sama. Penelitian Aprianty dan Kriswiyanti (2008) menunjukkan adanya perbedaan ukuran polen pada Hibiscus rosa-sinensis dengan warna bunga berbeda-beda. Selain itu polen juga dapat bervariasi menurut tahap kematangannya (Erdtman, 1952 cit Aprianty dan Kriswiyanti, 2008). Penelitian polen dari beberapa ahli terhadap beberapa jenis tumbuhan di Eropa menurut Faegri dan Iversen (1989) menunjukkan adanya variasi ukuran berdasarkan letak geografisnya. Akan tetapi usaha untuk menghubungkan ukuran polen yang bervariasi dalam menentukan adanya factor lingkungan belum memberi hasil yang memuaskan. Ukuran polen individu yang berbeda dalam satu jenis juga bisa disebabkan oleh perbedaan fokus optic pengamat.
BAB III. PENUTUP
Beberapa metode yang dikenal dan dipelajari dalam pembuatan preparat tumbuhan, yaitu metode parafin, metode squash, metode asetolisis, dan metode maserasi. Masing-masing metode memiliki fungsi dan tujuan tertentu sesuai dengan tujuan pengamatan yang diinginkan dan bahan tanaman yang digunakan.
Pada pengamatan preparat penampang melintang daun dan anther yang dibuat menggunakan metode maserasi, penampakan preparat secara umum kurang memuaskan. Beberapa kekurrangan dan kesalahan dalam prosedur kerja sebagaimana telah dijelaskan mengakibatkan hilangnya epidesmis bawah pada citrus Sp, rusaknya preparat antera liliaceae dan kerusakan-kerusakan lainnya.
Demikian pula pada pembuatan preparat kromosom dengan metode squash, hasil yang didapat kurang maksimal disebabkan kromosom tidak terlihat dengan jelas.
Pada pembuatan preparat maserasi kayu dan preparat polen dengan metode asetolisis, hasil yang diperoleh cukup baik. Sel-sel penyusun kayu dapat terlihat dan dibedakan antara jenis kayu yang satu dan lainnya. Perbedaan jelas diperoleh antara komponen penyusun kayu angeospermae dan gymnospermae. Sedangkan hasil pengamatan preparat polen menunjukkan adanya perbedaan bentuk dan ukuran yang jelas antara polen dari jenis tumbuhan yang berbeda. Begitu pula halnya dengan spora paku dapat dibedakan bentuknya dari polen. Secara umum, hasil menunjukkan bahwa polen pada angeospermae memiliki ciri soliter dan bebas, karena masing-masingnya berkembang dari mikrospora tunggal.
Meskipun hasil untuk setiap metode yang diperoleh berbeda dan tidak seluruhnya memiliki hasil maksimal. Namun, praktikum ini telah dapat menyampaikan dan memberikan pengetahuan serta ketrampilan mengenai teknik pembuatan preparat tumbuhan.
DAFTAR BACAAN
Aprianty dan Eniek Kriswiyanti. 2008. Studi variasi ukuran serbuk sari kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan warna bunga berbeda. Jurnal Biologi XII (1):14-18.
Aprilisa. 2010. Pengamatan Fase Mitosis pada Tudung Akar Bawang Merah (Allium Cepa L.). http://aprilisa.wordpress.com/ diakses tanggal 10 Januari 2010.
Arridjani dan Agus Pudjoarianto. 1998. Morfologi Komparatif Serbuk Sari Anggota Myristicaceae di Jawa dan Nilai Taksonominya. Biologi, Vol.2. no.5.
Faegn, Kand dan J. Iversen. 1989. Texbook of Pollen Analysis. 4 th Edition (revised by Faegri, K., K. Kaland and P.E. Krzywinski) John Wiley &Sons Ltd Chichester.
Hidayat, Estiti B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung : Penerbit ITB Bandung.
Iswanto, Apri Heri. 2008. Struktur anatomi kayu daun lebar (hardwoods) dan kayu daun jarum (softwoods). USU e-repository.
Perwati, Lilih Khotim. 2009. Analisis Derajat Ploidi dan Pengaruhnya Terhadap Variasi Ukuran Stomata dan Spora pada Adiantum raddianum. BIOMA, Vol. 11, No. 2, Hal. 39-44.